hanya sekedar coretan di layar desktopmu

Saturday 9 April 2016

ketika qur'an bercerita

18:51:00 Posted by fathur alrahman
Perkenalkan pembaca, namaku Al-Quran. Anda pasti sudah kenal saya, secara langsung  maupun  tidak  langsung.  Saya mewarnai  dunia  ini sejak abad ke 7 sampai sekarang  ini, dikumandangkan  di seluruh pelosok dunia. Dikenal dari kolong jembatan tol satu Pontianak sampai istana raja Arabia di pegunungan Alpen. Dari Bronx di megapolitan Rio de Janeiro sampai kantor2 elit di Silicon Valley. Dari syukuran kelahiran sampai berkabung atas kematian. Dari lorong2 sempit shantytown  di  Uganda  sampai  di  laptop2  mahasiswa  muslim  di  Eropa.  Aku praktis  ada  dimana2  pembaca,  setiap  detik  jutaan  orang  membacaku. Aku adalah salah satu dari jutaan saudaraku yang menyebar di seluruh dunia.

Minggu yang lalu aku disumbangkan oleh seorang anggota DPR di perpustakaan daerah. Jadi selama seminggu ini aku mendapatkan rumah baru, aku beruntung  sekali, di tempat baru ini temanku  jadi banyak. Di tempat yg lama, aku cuma dipajang saja, gak pernah dibaca. Dulu aku dijadikan mahar perkawinan  anggota  DPR  itu  dengan  istri  pertamanya,  setelah  dia  bercerai karena  istrinya  pertamanya tidak mau dimadu,  aku  diserahkan   ke perpustakaan daerah.

Aku merasa gembira sekali, serasa lepas dari kubangan gelap, tiap hari dulu aku hanya melihat muka2 masam, hubungan rumah tangga yg tidak harmonis, penindasan  atas  hak2  istri,  anak2  yang  tidak  terdidik  dengan  baik.  Begitu datang aku langsung disambut oleh penghuni2 lama disini, yang paling tua di sini dan paling gemuk itu namanya Veda, yang juga cukup tua walau tidak setua Veda ada Tipittaka, ada juga Injil, ada Taurat, ada Upanishad, ada Politica, Ada Republic, ada Divina Comedia, ada Das Kapital, ada banyak sekali teman2ku di sini.  Walaupun  begitu,  aku  tidak  bisa  langsung  dekat  sama  mereka  semua, yang paling dekat selama ini masih Injil, yang sedikit lebih tua dari aku. Aku sering curhat dengannya, dia juga yang selama ini sering melindungiku dari olok2an teman2 dari rak sebelah kiri, terutama Das Kapital yang suka menggangguku.  Tapi  aku  senang  di  tempat  baru  ini,  aku  semakin  dewasa, banyak  yang  kupelajari  dari  teman2  baruku.  Aku  juga  mengangkat  adik, namanya Aqdas, yang terus terang kuakui kadang lebih dewasa daripada aku.

Di  tempat  baru  ini  aku  ditempatkan  bersama  teman2  dari  jenisku,  yang akhirnya aku malah sering diskusi dengan mereka semua. Dari diskusi2 itu aku menjadi  terbuka  akan  warna-warninya dunia  filsafat,  itu  baru  dari  filsafat agama.  Lebih beragam  lagi kalau aku kadang2  mendengarkan  percakapan2 dari teman2 yang berada di rak sebelah kiri. Dari diskusi itu, aku menjadi sering merenung sendiri.

Beberapa hari lalu aku diambil dan dibaca oleh seorang anak kecil, umurnya kira2 14 tahunan, pakaiannya kumal, celananya  robek  disana-sini,  kulitnya hitam diliputi debu. Setelah menengok kanan kiri, dia mengambilku dan segera pergi  ke  meja  dan  membacaku.  Sangat  bahagia  diriku  pembaca  sekalian, setelah sekian lama aku hanya dipajang, akhirnya ada juga yang membacaku. Memang dia  kurang lancar membacaku, tapi  aku bisa  merasakan aura kerinduan yang sangat dari tatap matanya dan desah suaranya saat membacaku. Tapi sayang pembaca, tak berapa lama kemudian petugas perpustakaan mengusirnya, disertai gertakan2 yang memilukan  hatiku.

Tentunya bagi anak itu lebih memilukan lagi, aku melihat air mata menetes di pipinya. Aku sangat sedih sekali.

Para pembaca, terus terang saja, aku kadang iri sama Injil, Veda, Tipittaka, dan yang lain2. Bukannya apa2, tapi jelas semua mengakui bahwa mereka adalah ciptaan  manusia,  jadi kalau salah ya lumrah, lha memang  ciptaan  manusia. Tapi  aku di  rumah  besar  ini  adalah  satu2nya  yang  dianggap  produk  Tuhan, dianggap sebagai kata2 Tuhan, jadi kalau aku salah seperti salahnya aku tidak mengharamkan perbudakan, atau salahnya aku melakukan perhitungan matematika dalam pembagian warisan, berarti yang salah Tuhan dong, karena aku adalah kata2nya Dia. Aku bukan kata2 Muhammad.  Karena Muhammad hanyalah  mediumku.  Injil  memang  banyak  kesalahan  di  dalamnya,  apalagi yang  edisi  Latinnya.  Tetapi  Injil  bisa  berkilah  bahwa  memang  dia  ciptaan manusia,  yang  membuat  adalah  murid2  Yesus.  Veda juga  bisa  selamat  dari tuduhan, karena memang dia ciptaan resi2, jadi kalau salah ya yang salah resi yang membuatnya. Tipittaka juga begitu, Sidharta kan juga manusia biasa, dia pasti bisa salah.

Tapi aku, sekali lagi aku, aku adalah kata2 Tuhan, sungguh pedih hatiku mengingat itu. Aku telah menghina Tuhan, tuhan segala alam. Aku telah digunakan umat untuk menghina tuhan, mengapakah tuhan yang segala maha  itu  hanya  mempunyai  kata2  terbaik  seperti  aku.  Bahasaku  memang indah, diksi2ku memang mumpuni, tapi aku konstekstual, aku ada karena keadaan, aku ada karena Muhammad butuh alat untuk menyadarkan kejahiliahannya  umat.  Muhammad  butuh  dogma  sebagai  alat,  karena  orang bodoh yang celakanya 99% manusia tergolong dalam golongan orang bodoh ini butuh dogma, butuh simbol, butuh balasan atas yang dilakukannya, butuh ancaman dan butuh hadiah.

Muhammad sendiri tidak butuh dogma dan simbol, karena dia manusia sangat pragmatis dan sekaligus futuristik idealis. Muhammad selalu mengingatkan akan bahaya kebodohan atau kejahiliyahan, karena dia tahu benar akan seperti apa umatnya  sepeninggalnya.  Waktu dia mau mati, aku ingat benar bahwa dia berkata “ Umatku..umatku…umatku…”, kekhawatiran  yang tidak berlebihan jika melihat apa yang terjadi  setelah dia meninggal.  Yang  mengantarkan  jenazahnya  hanya  5  orang,  sedangkan  yang lain ribut membicarakan vacuum of  power. Umar dengan lantang akan menebas  leher  siapa  saja  yang  bilang  Muhammad  meninggal,  bibit2  kultus yang justru ada   di kalangan sahabat2 terdekatnya. Belum kejadian2 memalukan  beberapa  lama  setelah  dia  meninggal,  istrinya  Aisyah  perang dengan  menantunya  Ali bin Abi Thalib, cucunya  Hasan dan Husein dipenggal kepalanya oleh orang2 haus kekuasaan, semua sahabat terdekatnya mati terbunuh karena kecemburuan karena kekuasaan.

Hidup lebih dari 14 abad membuatku  menjadi  saksi bisu kenaifan  manusia, terutama  justru  kenaifan  jutaan  pembaca  setiaku.  Yang  sangat  membuatku pedih adalah ucapan Muhammad Abduh sewaktu kembali dari perjalanannya ke Eropa, dia lebih melihat Islam di sana daripada di negeri2 yang selama ini mengaku sebagai negeri Islam. Nilai2 persamaan hak lebih dihormati di negeri yang  sedikit  sekali  orang  yang  bisa  membacaku,  kesejahteraan  rakyat  kecil lebih terjamin di negeri2 itu, di saat korupsi dan komersialisasi diriku dijadikan propaganda politik oleh orang2 yang mengaku Islam yang sering hanya demi kepentingan sesaat semata.

Jika  hidupku  memang  ditakdirkan  untuk  menanggung  beban  ini,  aku  akan menjalaninya  dengan  berat hati. Sebenarnya  lebih  baik aku  tiada  atau  mati saja,  daripada  hidup  menanggung  beban  melecehkan  tuhan.  Daripada  tiap detik  dikumandangkan  di  seluruh  dunia,  tapi  substansi  nilaiku  dibuang  di pojok2 sejarah, sedangkan nilai2 normatifnya saja yang jadi keributan dimana2.

Pembaca  sekalian,  doakan  aku  ya, biar Allah  menguatkan  hatiku  menerima perlakuan makhluk2, menguatkan  aku menghadapi  penghinaan2  filosofis ini. Sudahlah, kurasa sudah cukup aku curhat, yang lain sudah pada tertidur. Weda sudah ngorok kudengar, Injil dan yang lain jg sudah tidak terdengar suaranya. Aku ingin tidur, kalau bisa selamanya, agar penderitaanku ini berakhir, penderitaan  peradaban  yg harus kusandang,  oh malang sekali diriku. Terima kasih pembaca, sudah sudi mendengarkan keluh kesahku.