Akan ada senyum
menyeringai disaat pembaca sekalian mengintip sedikit redaksi dari kanda Sulastomo.
Dalam bukunya “(Bukan) Negeri Sampah” yang ditulis beliau kurang lebih 12 tahun
lalu, ada satu halaman khusus yang memang sengaja disiapkan untuk redaksi yang
penulis kira menantang anak muda (khususnya mahasiswa) untuk menemukan jawaban
dari pertanyaan itu di sanubarinya yang paling dalam. Dengan efek yang
sedemikian, penulis kira itu layak. Seyogyanya memang sebuah buku, selalu ada
teruntuk siapa buku itu dibuat bukan?
Tetapi yang membuat
kelayakan itu bertambah, agaknya isi buku itu didedikasikan khusus untuk
redaksi ini. “untuk anak muda zaman sekarang, semoga masih ada idealisme”.
Itulah redaksi sakti yang penulis
maksud. Kalimat “anak muda” dalam redaksi itu tampaknya sedikit pas bila
ditafsirkan sebagai mahasiswa. Lagi pula agak kurang lezat seandainya
disematkan kepada masa-masa SMA. Mengapa demikian?
Hemat penulis,
idealisme SMA cenderung masih mengkal. Kultur dan style mereka tentang ber”idealis” belum cukup padu. Hal ini
dilatarbelakangi oleh kondisi psikologi yang masih labil serta pola fikir yang
cenderung belum matang. Relatif memang, tetapi fenomena dan kultur masa SMA
adalah tentang menjadi “aku” dan “aku adalah tuhan untuk diriku”.
Lalu bagaimana
dengan mahasiswa, inspirasi dari tulisan ini dan interpretasi utuh dari anak
muda yang dipertanyakan di atas. Masih
adakah idealisme? Masihkah paham “aku adalah tuhan untuk diriku” dibawa hingga
celana abu-abu diganti dengan celana bebas rapi dari senin hingga sabtu?
Sayangnya tidak ada
data statistik yang mampu menjawab secara
eksplisit pertanyaan di atas. Ditambah
dengan gerakan-gerakan kultural, gerakan
moral, dan gerakan intelektual
yang awalnya subur di lingkungan akademis kampus seakan cenderung melesu.
Gerakan kultural seperti diskusi dibungkam, membaca dibutakan dan menulis
dikebiri oleh penghianatan intelektual yang sudah menjadi penyakit dan
geokultur siswa yang sudah kadung (baru dan lama) menjadi MAHA.
Agaknya impotensi
organisasi mapan sebagai inang dari gerakan kultural, gerakan moral, dan
gerakan intelektual sudah kronis. Sedang organisasi alternatif memanfaatkan
peluang menggarap lahan yang ditinggalkan oleh organisasi mapan. Pembuktian dari hipotesis ini tampak
pada organisasi alternatif yang adaptatif dan dinamis. Fleksibilitas organisasi
alternatif membaca kondisi masyarakat menjadi kunci untuk menggerus kedigdayaan
organisasi mapan secara sedikit demi sedikit.
Komodifikasi gaya
hidup menjadi pemenang dalam kasus ini. hedonisme menjadi gamblers dengan kemenangan terbesar. Lalu mahasiswa? Nilai-nilai
murni (pure values) dari ke-mahasiswa-an
seakan tergerus oleh nilai-nilai transnasional yang menjadikan globalisasi
sebagai kuda troya. Hasilnya yang pasrah semakin pasrah, yang idealis berjuang
tanpa identitas.
Pada titik ini,
gerakan kultural, gerakan moral, dan gerakan intelektual akan menjadi api
unggun yang mencairkan redaksi “maha” dari kebekuan, kata “maha” tidak dijumudkan
hingga kehilangan konteks, tidak pula kata “maha” hanya sekedar menjadi pemanis
anak bangsa yang masih ingin belajar pasca siswa.
Mahasiswa sebagai
underbouw perubahan sudah selayaknya bangun dan tersadar. Segeralah cuci muka
untuk mengembalikan seluruh ingatan tentang diri sendiri dan apa yang harus
dilakukan dan tidak hanya turut hanyut bersama dengan statisnya kehidupan
kampus. Gerakan-gerakan massa memang sudah tidak lagi ngetrend belakangan ini, dan untuk mengisi ruang kosong yang
ditinggalkan gerakan massa itu, gerakan kultural, gerakan moral, dan gerakan
intelektual menurut hemat penulis masih relevan untuk digunakan.
Sungguhpun pada
akhirnya mahasiswa tetap dijatuhkan pada pilihan antara pragmatis atau idealis.
Jika dipandang dari sudut yang lebih netral, secara fundamental mahasiswa tidak
harus melupakan tentang eksistensi dirinya sebagai agen perubahan dan social
control di tengah-tengah masyarakat.
Semoga pembaca
tulisan ini (terutama mahasiswa) mulai “ingin” mencari sesuatu sebagaimana
faktanya dan apa adanya ketimbang menilai apa yang tampak secara kasat mata,
yang benar ketimbang yang salah, dan yang substantif ketimbang artifisial.
Siapa tahu idealisme menyembunyikan dirinya di sela-sela tumpukan ikhtiar diri
mencari orisinalitas, hingga klimaksnya
pertanyaan “MAHA” kemudian terjawab.