hanya sekedar coretan di layar desktopmu

Monday 18 April 2016

MAHAsiswa dan pertanyaan “MAHA” yang belum terjawab

15:51:00 Posted by fathur alrahman
Akan ada senyum menyeringai disaat pembaca sekalian mengintip sedikit redaksi dari kanda Sulastomo. Dalam bukunya “(Bukan) Negeri Sampah” yang ditulis beliau kurang lebih 12 tahun lalu, ada satu halaman khusus yang memang sengaja disiapkan untuk redaksi yang penulis kira menantang anak muda (khususnya mahasiswa) untuk menemukan jawaban dari pertanyaan itu di sanubarinya yang paling dalam. Dengan efek yang sedemikian, penulis kira itu layak. Seyogyanya memang sebuah buku, selalu ada teruntuk siapa buku itu dibuat bukan?
Tetapi yang membuat kelayakan itu bertambah, agaknya isi buku itu didedikasikan khusus untuk redaksi ini. “untuk anak muda zaman sekarang, semoga masih ada idealisme”. Itulah  redaksi sakti yang penulis maksud. Kalimat “anak muda” dalam redaksi itu tampaknya sedikit pas bila ditafsirkan sebagai mahasiswa. Lagi pula agak kurang lezat seandainya disematkan kepada masa-masa SMA. Mengapa demikian?
Hemat penulis, idealisme SMA cenderung masih mengkal. Kultur dan style mereka tentang ber”idealis” belum cukup padu. Hal ini dilatarbelakangi oleh kondisi psikologi yang masih labil serta pola fikir yang cenderung belum matang. Relatif memang, tetapi fenomena dan kultur masa SMA adalah tentang menjadi “aku” dan “aku adalah tuhan untuk diriku”.
Lalu bagaimana dengan mahasiswa, inspirasi dari tulisan ini dan interpretasi utuh dari anak muda yang  dipertanyakan di atas. Masih adakah idealisme? Masihkah paham “aku adalah tuhan untuk diriku” dibawa hingga celana abu-abu diganti dengan celana bebas rapi dari senin hingga sabtu?
Sayangnya tidak ada data statistik yang mampu  menjawab secara eksplisit pertanyaan  di atas. Ditambah dengan gerakan-gerakan kultural, gerakan  moral, dan gerakan  intelektual yang awalnya subur di lingkungan akademis kampus seakan cenderung melesu. Gerakan kultural seperti diskusi dibungkam, membaca dibutakan dan menulis dikebiri oleh penghianatan intelektual yang sudah menjadi penyakit dan geokultur siswa yang sudah kadung (baru dan lama) menjadi MAHA.
Agaknya impotensi organisasi mapan sebagai inang dari gerakan kultural, gerakan moral, dan gerakan intelektual sudah kronis. Sedang organisasi alternatif memanfaatkan peluang menggarap lahan yang ditinggalkan oleh organisasi mapan. Pembuktian dari hipotesis ini tampak pada organisasi alternatif yang adaptatif dan dinamis. Fleksibilitas organisasi alternatif membaca kondisi masyarakat menjadi kunci untuk menggerus kedigdayaan organisasi mapan secara sedikit demi sedikit.
Komodifikasi gaya hidup menjadi pemenang dalam kasus ini. hedonisme menjadi gamblers dengan kemenangan terbesar. Lalu mahasiswa? Nilai-nilai murni (pure values) dari ke-mahasiswa-an seakan tergerus oleh nilai-nilai transnasional yang menjadikan globalisasi sebagai kuda troya. Hasilnya yang pasrah semakin pasrah, yang idealis berjuang tanpa identitas.
Pada titik ini, gerakan kultural, gerakan moral, dan gerakan intelektual akan menjadi api unggun yang mencairkan redaksi “maha” dari kebekuan, kata “maha” tidak dijumudkan hingga kehilangan konteks, tidak pula kata “maha” hanya sekedar menjadi pemanis anak bangsa yang masih ingin belajar pasca siswa.
Mahasiswa sebagai underbouw perubahan sudah selayaknya bangun dan tersadar. Segeralah cuci muka untuk mengembalikan seluruh ingatan tentang diri sendiri dan apa yang harus dilakukan dan tidak hanya turut hanyut bersama dengan statisnya kehidupan kampus. Gerakan-gerakan massa memang sudah tidak lagi ngetrend belakangan ini, dan untuk mengisi ruang kosong yang ditinggalkan gerakan massa itu, gerakan kultural, gerakan moral, dan gerakan intelektual menurut hemat penulis masih relevan untuk digunakan.
Sungguhpun pada akhirnya mahasiswa tetap dijatuhkan pada pilihan antara pragmatis atau idealis. Jika dipandang dari sudut yang lebih netral, secara fundamental mahasiswa tidak harus melupakan tentang eksistensi dirinya sebagai agen perubahan dan social control di tengah-tengah masyarakat.

Semoga pembaca tulisan ini (terutama mahasiswa) mulai “ingin” mencari sesuatu sebagaimana faktanya dan apa adanya ketimbang menilai apa yang tampak secara kasat mata, yang benar ketimbang yang salah, dan yang substantif ketimbang artifisial. Siapa tahu idealisme menyembunyikan dirinya di sela-sela tumpukan ikhtiar diri mencari orisinalitas,  hingga klimaksnya pertanyaan “MAHA” kemudian terjawab.