hanya sekedar coretan di layar desktopmu

Saturday 9 April 2016

terima kasih

18:50:00 Posted by fathur alrahman
TERIMA KASIH . . . Mungkin sangat jarang sebuah tulisan dimulai dengan kata itu. Tetapi itulah kata yang layak aku gunakan sebagai rasa syukur kepada Allah yang telah “menunjukkan” dirimu untukku. Buku pemberian darimu telah kubaca SELURUHNYA. Novel pertama dalam sejarah hidupku yang membuat mata ini tak pernah bosan menelusuri huruf demi huruf, kata demi kata hingga halaman demi halaman.
Dari hadiahmu, menyadarkan aku bahwa kemiskinan tidak harus dihadapi dengan rasa takut. Bahwa Tuhan selalu punya rencana. Bahwa Tuhan tidak akan pernah berkedip untuk melihat nasib ummatnya yang hendak berusaha. Buku itu memang seperti candu (A Fuadi). Mampu membawa pembacanya seperti hilang dari lingkungannya selama menelusuri kata demi kata yang dimuat didalamnya. Mampu menarik pembaca ke dalam dimensi yang diredaksikan buku itu.
Seketika. Aku lupa akan sekelilingku saat buku itu ditanganku, aku lupa akan seluk beluk aktifitas manusia yang ada di sekeliling, bahkan aku tidak hiraukan lagu favoritku yang sedang diputar dari laptop ini dan mataku hanya tertuju pada kata demi kata dalam buku itu. Mau bagaimana lagi??? Buku itu sudah mencanduku.
Sungguh. Tokoh itu menginspirasiku. Menyadarkan melalui cerita masa kecil hingga remajanya di kebon dalem, sebuah desa yang kemiskinan bukan hal yang langka untuk ditemukan, anak-anaknya matang menghadapi hidup sebelum dewasa, kisah cinta, hingga makna persahabatan.
Buku itu mengingatkanku tentang sahabatku. Sahabat yang sering kusebutkan namanya di depanmu. Hingga sekarang ia sedang mengumpulkan rupiah demi rupiah. Mencari logam mulia yang terkubur di dalam tanah, memaksa tubuhnya bekerja keras hanya untuk rupiah agar bisa kuliah, tanpa sadar aku mengaguminya, jarang ada manusia seperti itu, ingin meneruskan kuliah dari rupiah hasil keringatnya sendiri. Mencoba melawan kondisi yang tentunya tidak nyaman dialami segelintir orang. Dalam hati sejujurnya ku akui engkau luar biasa kawan.
Tidak sepertiku yang meminta dan meminta. Betapa lupanya aku akan mereka yang rambutnya mulai memutih, kulitnya mulai mengerut. Sebuah takdir yang tidak bisa dielakkan dengan apapun. Terlebih lagi setelah adikku tidak lagi bersama mereka, diapun sedang merintis pendidikannya di salah satu universitas ternama di kota ini, sering terbayang pula tentang kesendirian mereka hari ini. Ketika aku telah kenakan toga itu, akulah yang akan mengisi hari-hari mereka lagi.
Semoga saja apa yang sering dikatakan orang tentang “tidak ada kata terlambat” itu benar adanya. Hanya semangat yang dahulu tercerai berai yang harus segera ku kumpulkan lagi. Mengingatnya membuat semangatku seketika bangkit kembali. Yakinlah aku berada di jalan yang benar. Aku sedang berada di jalur yang engkau dan seluruh alam semesta harapkan dariku. Akupun tak kerasan selalu berada dalam posisi seperti ini. Aku tak akan mati sebelum ku kenakan toga itu, aku yakin Tuhan pun cukup bijaksana tidak memerintahkan izrail untuk mencabut nyawaku, mengingat aku belum “menabung” sebiji pahalapun.
Hahahahaha . . . mendadak hati tergelitik. “sebiji pahala ???” apa Tuhan mau terima transaksiku dengan kata itu? Selayaknya bertransaksi dengan Tuhan harus dengan sesuatu yang lebih dari barang berharga yang ada di dunia ini. Atau mungkin sesuatu yang lebih berharga dari emas, berlian, intan, dan minyak, atau entahlah . . .
Ah . . . sudahlah. Semoga saja “sebiji pahala” mampu mewakili kegalauan hati ini. Semoga saja dengan “sebiji pahala” Tuhan memenjarakan Izrail sementara waktu untuk “membunuhku”.
Walau hanya beberapa paragraph, kurasa urusanku dengan Tuhan untuk sementara sampai disini. Senin ini aku harus berurusan dengan tuhan-tuhan di kampus dan para malaikat-malaikatnya. Semoga mereka mau menerimaku sebagai hambanya. Tapi pastilah mereka akan menerimaku. Mengingat syahadatku kepada mereka berupa semesteran yang setiap 6 bulan sekali harus dibayar telah ku tunaikan. Hal itu sudah cukup untuk menunjukkan eksistensiku dan hamba-hamba yang lain sebagai hambanya.
Rasa malu tentu tidak dapat dibuang dari wajah ini nanti ketika “menyembahnya” di ruang kelas. Ketika ketaatan menjadi barang tertawaan di singgasananya, ummatku yang satu ini amat sangat taat menyembahku. Dalam hatinya tertawa. Ummat yang lain mungkin berkata dalam hatinya, saudara seiman ini sudah berapa semester menyembah tuhan ini? Dalam hatinya tertawa. Sungguh memalukan.
Tetapi aku bukan Fathur jika hanya berhenti disaat rel yang membentang masih tersisa ribuan kilo jaraknya. Aku bukan Fathur jika karam mendayung sampan ditengah Melawi yang kemarau. Aku bukan Fathur bila malu bertemu tuhan hanya karena aku belum menunaikan tugas-tugas yang mereka beri. Karena bagiku, rasa malu kepada mereka tidak sebanding dengan keringat orang tuaku.
Aku memang belum miliki segalanya dalam beranda seorang pria. Masih dengan gampangnya menyedekahkan waktu untuk hidup yang sia-sia, dan ternyata yang harus manusia sadari bahwa rasa bosan terhadap yang sering Syahrini bilang “sesuatu” ternyata lebih baik dari pada tercandu akan sesuatu. Rasa bosan menjadi hamba tuhan di kampus kian hari semakin radikal, makin terasa besar dari dada ini ingin murtad dari ajaran mereka, tapi ya Allah . . . tolong pulangkan aku pada waktu itu  SEKALI SAJA . . . atau kutukar dengan apapun yang aku punya asal engkau kembalikan aku pada waktu itu.
Dan (menangis . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .)