Jika kita menganalogikan organisasi sebagai miniatur
sebuah Negara,
sudah pasti tidak dapat lepas dari sebuah gawai demokrasi. Bila di Negara
tercinta kita,
pesta demokrasi dilaksanakan 5 (lima) tahun sekali maka pesta demokrasi di HMI
dilaksanakan setiap 2 (dua) tahun sekali. Agenda
kongres yang direncanakan dibuka secara langsung oleh Presiden Joko Widodo pada
tanggal 22 November di kota Pekanbaru Riau ini merupakan agenda besar
organisasi, selain sebagai agenda permusyawaratan untuk melanjutkan tongkat estafet
kepemimpinan di HMI juga klimaks dari kongres adalah merumuskan
formulasi-formulasi baru untuk menjawab tantangan kekinian yang dihadapi bangsa.
Pasca
Kongres/Muktamar Muhammadiyah mengkonstruksi konsepsi kemajuan dan NU
mengutarakan distribusi konsepsi terhadap islam nusantara pada tahun 2015 ini,
tibalah saat untuk HMI memberikan konstribusi dan konsepsi terhadap kemajuan islam
nusantara melalui forum kongres. HMI sebagai anak kandung umat islam dan juga
sebagai integral dari keluarga besar bangsa harus memposisikan diri sebagai
kawah candradimuka. Indonesia membutuhkan inovasi di berbagai bidang, sehingga
mampu menjadi bangsa yang lebih maju dan lebih baik.
Arena
kongres menjadi langkah untuk introspeksi pada bagian-bagian internal HMI
secara menyeluruh, dinamisasi di dalam tubuh HMI kiranya dapat diterjemahkan
dalam konteks kekinian sehingga wacana-wacana yang membiaskan tidak lagi menjadi
penjebak, terlebih lagi di nina bobokan nostalgia kebesaran sejarahnya masa
lalu. Akan berbahaya bila HMI semakin pulas tertidur, indikasi ini dibuktikan
dengan gerakan HMI relatif tidak terlihat dan (walaupun ada) cenderung
sendiri-sendiri.
Dari
ribuan kader dan anggota yang datang bertamu ke kota Pekanbaru, tentu dengan
muatan ribuan ide, ribuan gagasan, dan dengan ribuan kepentingan pula, dari sekian
banyak ribuan-ribuan itu bukan perkara sukar untuk merumuskan gerakan-gerakan
pembaharuan untuk HMI, namun bila dengan ribuan gagasan yang gentayangan di
arena kongres tidak didukung mediasi, konkritifitas, dan transparansi, maka
misi-misi perubahan yang dibawa masing-maing kader dan anggota jauh-jauh dari
daerah asalnya akan menguap sia-sia.
Kota
Pekanbaru, Riau yang mendapat kehormatan menjadi tuan rumah kongres ke dua
kalinya (setelah 1992) akan menjadi pusat perhatian dari sebagian besar kader,
anggota, dan juga alumni HMI di seluruh nusantara, berangkat dari hal itulah
kota Pekanbaru dituntut kesiapannya untuk memfasilitasi sebuah organisasi
perkaderan dengan jumlah kader dan anggota dari seluruh nusantara, dengan
ribuan kader HMI yang datang bertamu semoga saja masa-masa kelam dinamika
kongres sebelumnya tidak terulang kembali, namun jika skenario yang penulis
sebutkan kembali terulang di Pekanbaru, dapat dipastikan distorsi intelektual
dan kesadaran kader tentang “saling memiliki” terhadap HMI telah jatuh ke titik
nadir.
Otokritik
dalam kondisi bagaimanapun dan situasi apapun menjadi penting dilakukan oleh HMI,
dengan otokritik hijab-hijab yang membatasi HMI memandang noda-noda dan aib
diri sendiri semakin jelas, menerangkan kondisi sebenarnya dari HMI dalam
posisi dan situasi yang sebenarnya sedang dihadapi apakah solid ataukah semakin
rapuh. Ketika semuanya semakin jelas, kebijakan-kebijakan strategis yang
perumusannya dituntut membutuhkan kajian kekinian akan semakin mantap untuk
ditapaki, karena sebelum mulai melangkah pada komunitas yang lebih besar
(masyarakat Indonesia), restorasi HMI harus dimulai sedari diri sendiri.
Lagi
dan lagi, kongres ini seharusnya tidak hanya memberi harapan baru bagi
komunitas keluarga besar HMI tetapi juga bagi kita semua rakyat Indonesia.
Semoga kongres ini mengembalikan HMI (Harapan Masyarakat Indonesia) versi Jenderal
Sudirman pada track yang seharusnya.
Harapan ini menjadi absolut bila kita mematrikan dalam hati masing-masing bahwa
Lafran Pane dan kawan-kawan membidani HMI bukan untuk menjadi milik seseorang
atau sekelompok orang, melainkan menjadi aset berharga untuk bangsa Indonesia.
Selamat
berkongres, selamat berdinamika untuk sahabat-sahabat HMI se tanah air, semoga
dapat melahirkan gagasan-gagasan yang mampu menempatkan HMI menjadi wadah
perubahan bagi bangsa ini, mewujudkan HMI yang dinamis dan tetap mengambil
peran dalam pembangunan bangsa, melahirkan imam yang bertanggung jawab serta
total dalam melaksanakan tugas-tugas kelembagaan di HMI, mengghidupkan kembali
dinamika gerakan yang hari ini relatif meredup, menjadikan silaturahim sebagai lahan
strategis merumuskan solusi dari permasalahan di areal jajahan masing-masing, dan
menciptakan suasana konsolidasi dengan semangat kekeluargaan. Jayalah HMI,
jayalah bangsa. Allahuakbar . . . . . . . . . . . . . . .